Thursday, December 16, 2021

Ternyata Ada Virus Purba Misterius Yang Tersembunyi Di Dalam DNA Manusia


Jejak virus purba yang menginfeksi manusia purba Neandertal ditemukan pada manusia, tak hanya oleh peneliti Oxford University tapi juga oleh para peneliti dari Plymouth University.

Untuk menemukannya, peneliti membandingkan data genetik dari fosil Neandertal dan manusia purba lain yang disebut Denisovan dengan data genetik manusia modern yang terkena kanker.

Pohon silsilah keluarga manusia

Pohon silsilah keluarga manusia

Ilmuwan menemukan bukti adanya DNA virus yang menyerang manusia pada kelompok Neanderthal dan Denisovan di masa lalu yang menurun pada DNA manusia modern dimasa kini.

Itu artinya, bahwa “virus warisan” yang misterus itu sudah eksis di dalam tubuh manusia sejak 500 juta tahun lalu!

Berdasarkan penelitian itu, diketahui bahwa 8 persen dari DNA manusia tersusun atas DNA retrovirus endogen (ERVs).

Penemuan DNA retrovirus endogen atau Endogenous retroviruses (ERVs) itu dilaporkan pada jurnal Current Biology, dan diharapkan akan membantu para ilmuwan untuk menguak kemungkinan hubungan antara virus purba dan penyakit seperti kanker dan HIV pada manusia modern dimasa kini.

Dampak “DNA Sampah” Dalam Tubuh Manusia Modern

DNA virus purba itu diturunkan dari generasi ke generasi. DNA virus ini adalah bagian dari 90 persen DNA manusia yang belum diketahui fungsinya, disebut “junk DNA”. Junk DNA secara harafiah memang berarti DNA sampah, tak berguna. Namun, menurut Gkikas Magiorkinis dari Departemen Zoologi, Oxford University, “junk DNA” bisa punya dampak.

“Dalam kondisi tertentu, dua virus junk bisa bergabung dan menyebabkan penyakit. Kami sudah melihat ini di banyak hewan,” kata Magiorkinis.

Denisovans (ilustrasi)

Denisovans (ilustrasi)

“ERVs bisa menyebabkan kanker ketika diaktivasi oleh bakteri pada tikus dengan kekebalan tubuh yang menurun,” imbuhnya seperti yang pernah di rilis pada situs Oxford.

Magiorkinis berencana terus mencari tahu virus yang dimasukkan pada famili HML2, yang diduga berkaitan dengan HIV dan kanker itu.

Menurut Magiorkinis, respons pasien terhadap HML2 akan berhubungan dengan kecepatan perkembangan fase infeksi HIV ke tahap AIDS.

“Pasien HIV juga memiliki risiko lebih besar terkena kanker untuk sebab yang belum diketahui. Mungkin faktor risiko itu adalah genetik, mungkin HML 2,” kata Magiorkinis.

“Virus itu juga mungkin diaktivasi kembali pada pasien kanker dan HIV, jadi mungkin akan menjadi target terapi di masa depan,” tambahnya.

Robert Belshaw dari Plymouth University menganalisis genom 300 pasien untuk mengetahui penyebaran virus itu. Diperkirakan, virus itu telah menyebar ke populasi yang luas.

Ada tiga golongan Retro virus (virus masa lalu)

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f3/Hiv_gross.png/280px-Hiv_gross.png

HIV retrovirus schematic of cell infection, virus production and virus structure (wikimedia)

Retrovirus merupakan salah satu golongan virus yang terdiri dari satu benang tunggal RNA (bukannya DNA).

Setelah menginfeksi sel, virus tersebut akan membentuk replika DNA dari RNA-nya dengan menggunakan enzim reverse transcriptase.

Retrovirus terdapat pada kera-kera kecil, atau kera besar macam gorila atau simpanse yang ada di benua Afrika, serta orangutan yang ada di Sumatera dan Kalimantan.

Ada tiga golongan retrovirus yang ditemukan pada primata yaitu oncornaviruses, lentiviruses, dan spumaviruses. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, ketiga golongan virus tersebut beresiko menular pada manusia baik melalui gigitan, urin maupun feses (kotoran). Berikut virus-virus tersebut :

1. Oncornaviruses (subfamilies Oncovirinae)

Ada empat jenis ornocavirus yang terdapat pada non human primata (ordo) (NHP) yaitu Simian T-lymphotropic virus (STLV), Gibbon ape leukemia virus (GaLV), Simian sarcoma virus, dan Simian retrovirus Type D (SRV).

1.1. Simian T-lymphotropic virus (STLV), sangat mirip dengan Human T-cell leukemia virus (HTLV) yang banyak sekali terdapat di Asia, Afrika maupun Amerika. Meskipun kasus kejadiannya tidak banyak, HTLV dapat menyebabkan leukemia pada sel T dewasa atau lymphoma pada manusia yang terinfeksi. Selain itu, strain virus HTLV I juga berkaitan dengan tropical spastic paraparesis yaitu suatu gangguan syaraf yang langka. Hal yang amat mengkhawatirkan, saat ini telah diketahui bahwa HTLV ternyata berasal dari STLV purba yang menular antar spesies yang berbeda. Bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh Verschoor et al. (1998) terhadap 143 orangutan di Kalimantan Tengah menunjukkan adanya dua ekor orangutan yang terinfeksi oleh virus HTLV I. Dengan demikian, peluang virus golongan ini untuk menginfeksi manusia semakin besar.

Cara Penularan Simian T-lymphotropic virus  (STLV): hubungan seksual dan air susu induk.

1.2. Gibbon ape leukemia virus (GaLV), juga dapat mengakibatkan leukemia meskipun hewan yang dijangkiti masih tampak sehat. Virus ini dapat berpindah antar spesies.

Cara penularan Gibbon ape leukemia virus (GaLV): urin, feses dan kemungkinan hubungan seksual

1.3. Simian sarcoma virus, yang kemungkinan merupakan mutan dari GaLV diketahui menginfeksi monyet wooly yang serumah dengan gibbon.

Cara Penularan Simian sarcoma virus: hubungan seksual, gigitan, dari induk ke anak.

1.4. Simian retrovirus Type D (SRV), terdiri dari beberapa jenis virus. Virus ini biasanya menyerang monyet dan menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Namun, monyet yang terserang virus ini tetap terlihat sehat. Antibodi terhadap retrovirus tipe D telah dilaporkan pada 2 dari 247 orang yang sehari-hari berhubungan dengan primata non manusia.

Cara Penularan Simian retrovirus Type D (SRV): hubungan seksual, gigitan, dari induk ke anak.

2. Lentiviruses (subfamilies Lentivirinae)

Salah satu golongan lentivirus yang amat berbahaya adalah Simian immunodeficiency virus (SIV). Virus ini berkerabat erat dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV 1 berasal dari strain SIV simpanse. Sedangkan virus HIV 2 berasal dari SIV sooty mangabeys. Ada sejumlah besar monyet Afrika baik yang liar maupun tangkapan yang terinfeksi oleh SIV. Jenis strainnya berbeda-beda, sesuai dengan jenis spesiesnya. Sebagian besar hewan yang terinfeksi oleh virus ini, tetap terlihat sehat.

Primata Asia bukanlah induk semang alami dari SIV. Dengan demikian, apabila terkena SIV, primata Asia (termasuk orangutan) akan sangat mudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Saat ini ada 0.06% (2 dari 3123) manusia yang biasa bekerja dengan primata yang terinfeksi oleh virus ini. Satu di antara kedua orang tersebut selanjutnya menunjukkan hasil uji serologi yang negatif, namun yang lainnya tetap positif. Namun mereka berdua tidak menunjukkan gejala penyakit.

3. Spumaviruses (subfamilies Spumavirinae)

Spuma virus yang terdapat pada primata adalah Simian Foamy Virus (SFV). Virus ini banyak ditemukan pada primata dunia baru maupun lama. Ada 3,7% atau 11 dari 296 orang yang biasa berhubungan dengan primata telah terinfeksi oleh virus ini.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/97/Phylogeny_of_Retroviruses.svg/640px-Phylogeny_of_Retroviruses.svg.png

Phylogeny of Retroviruses (wikimedia)

Berbeda Dengan Manusia Modern, Neanderthal dan Denisovan Tak Kenal Autisme

Liran Carmel dan tim peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, Israel, berhasil membuat peta aktivitas gen pada Neanderthal dan Denisovan, yang secara genetik sangat mirip dengan kita. Mereka lalu membandingkannya dengan manusia modern.

Denisovans (ilustrasi)

Denisovans (ilustrasi)

Ternyata, peta ekspresi gen pada dua saudara tua kita itu menunjukkan perbedaan penting antara aktivitas gen mereka dan gen kita.

Hasil ini mengindikasikan pula bahwa kelainan otak, seperti schizophrenia dan autisme tampaknya hanya terjadi pada manusia masa kini.

Peneliti sudah mengetahui bahwa aktivitas gen umumnya menurun jika ia terkena senyawa kimia yang mengandung methyl, sebuah proses yang dikenal dengan methylation.

Dari studi diatas, terungkap bahwa methylation pada manusia modern kemungkinan mempengaruhi gen yang berkaitan dengan kelainan syaraf. Berbeda dengan kondisi yang terjadi pada Neanderthal dan Denisovan.

Menurut Bernard Crespi, peneliti dari Simon Fraser University, Burnaby, Kanada yang mempelajari evolusi perkembangan syaraf manusia, para peneliti berpendapat bahwa kelainan diatas memang merupakan kelainan unik milik manusia.

Neanderthal (ilustrasi)

Neanderthal (ilustrasi)

Autisme dan schizophrenia umum dilihat sebagai kelainan yang melibatkan perilaku spesifik manusia, seperti bahasa dan kognisi sosial yang kompleks,” kata Crespi.

“Dengan demikian, kelainan ini diperkirakan memang hanya milik manusia, atau setidaknya kemungkinan besar hanya dialami manusia,” lanjut Crespi menjelaskan.

Temuan terbaru ini, sebut Chris Stringer, peneliti dari Natural History Museum, London, merupakan pencapaian luar biasa. “Ini menjanjikan terobosan lebih lanjut terkait pemahaman biologi manusia pra-modern,” ucap Chris.

Kepunahan Leluhur Manusia Berdampak pada Kesehatan Saat ini

Neanderthal sebagai sub-spesies manusia yang telah punah ini, ternyata juga memiliki pengaruh genetik halus pada manusia modern. Sebuah studi yang membandingkan DNA Neanderthal dengan gen orang-orang keturunan Eropa dan Asia.

Studi tersebut menemukan bahwa sejumlah penyakit, termasuk depresi dan kelainan darah, ada pada manusia, berkat nenek moyang kita. Dengan teknologi modern, saat ini memungkinkan untuk mengurutkan DNA Neanderthal sepupu jauh kita.

Pada penelitian yang membandingkan materi genetik dari kerabat yang paling dekat dengan kepunahan manusia dengan database genetik 28.000 orang keturunan Eurasia, para ilmuwan telah mengkonfirmasi pengaruh biologis terhadap nenek moyang manusia modern.

DNA diturunkan melalui kawin silang Neanderthal, yang hidup di daerah yang saat ini diketahui sebagai Eropa dan Asia, dan manusia purba, yang telah bermigrasi keluar dari Afrika.

Spread_and_evolution_of_Denisovans - The Evolution and geographic spread of Denisovans as compared with other groups.jpg

Penyebaran evolusi dan geografi sub spesies atau grup manusia di dunia

Sebagai hasil dari mereka yang berbaur adalah bahwa 40 sampai 60.000 tahun yang lalu, manusia telah mewarisi sekitar dua persen DNA mereka dari Neanderthal. Sebelumnya ilmuwan berspekulasi bahwa antara satu dan empat persen dari materi genetik kita berasal dari Neanderthal.

John Capra, penulis utama studi dan profesor ilmu biologi di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee, mengatakan tampaknya kondisi kesehatan manusia modern yang (termasuk gangguan sistem kekebalan tubuh, kulit, sistem saraf serta kesehatan reproduksi) secara tidak langsung dipengaruhi oleh Neanderthal. Capra mengatakan gen leluhur manusia purba juga tampaknya telah mempengaruhi perkembangan depresi klinis, penyakit jiwa yang serius.

“Hasil yang kami dapatkan adalah bahwa Neanderthal mengalami depresi, atau bahwa mereka yang membuat kita tertekan. Ini yang kita temukan dalam lingkungan DNA modern, yang kita warisi dari Neanderthal telah mengalami pengaruh pada sistem ini. Apa efeknya yang masih harus dilihat, tetapi pasti menarik mengapa itu mungkin terjadi, “kata Capra.

manusia neanderthal - Arthursclipart 01Temuan yang menghubungkan DNA Neanderthal dengan manusia modern ini diteliti oleh John Capra dan rekannya. Mereka menerbitkan makalah dalam jurnal Science.

Para peneliti meluncurkan karya mereka pada pertemuan tahunan Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Ini adalah perbandingan langsung dari DNA Neanderthal dengan manusia modern pertama kalinya.

Capra mengatakan gen mungkin memberikan beberapa manfaat lingkungan bagi manusia sub-spesies yang telah punah. Ia berharap bahwa membandingkannya dengan profil genetik dari orang abad ke-21, mungkin memberitahu peneliti bagaimana manusia berevolusi dan bagaimana gen berkontribusi terhadap penyakit modern.

“Dan sementara DNA Neanderthal memiliki pengaruh yang signifikan pada mereka atau risiko bagi mereka, itu tidak berarti malapetaka bagi kita untuk memiliki penyakit tersebut,” katanya. Capra mengatakan bahwa DNA kuno mungkin telah berkontribusi terhadap sifat-sifat fisik yang lain yang belum ditemukan. (newscientist.com/ Current Biology/ Oxford/ KOMPAS.com/ NatGeo Indonesia/ icc.wp.com)

Pustaka:

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/2b/Life_Cycle_of_a_Retrovirus.svg/640px-Life_Cycle_of_a_Retrovirus.svg.png

A retrovirus has a membrane containing glycoproteins, which are able to bind to a receptor protein on a host cell. There are two strands of RNA within the cell that have three enzymes: protease, reverse transcriptase, and integrase (1). The first step of replication is the binding of the glycoprotein to the receptor protein (2). Once these have been bound, the cell membrane degrades, becoming part of the host cell, and the RNA strands and enzymes enter the cell (3). Within the cell, reverse transcriptase creates a complementary strand of DNA from the retrovirus RNA and the RNA is degraded; this strand of DNA is known as cDNA (4). The cDNA is then replicated, and the two strands form a weak bond and enter the nucleus (5). Once in the nucleus, the DNA is integrated into the host cell’s DNA with the help of integrase (6). This cell can either stay dormant, or RNA may be synthesized from the DNA and used to create the proteins for a new retrovirus (7). Ribosome units are used to transcribe the mRNA of the virus into the amino acid sequences which can be made into proteins in the rough endoplasmic reticulum. This step will also make viral enzymes and capsid proteins (8). Viral RNA will be made in the nucleus. These pieces are then gathered together and are pinched off of the cell membrane as a new retrovirus (9).(wikimedia)

Keluarga manusia purba Neanderthal

Keluarga manusia purba Neanderthal

Ilustrasi Keluarga Neanderthal sedang berkumpul.