Tuesday, May 24, 2022

Saat Gunung Toba Meletus, Bagaimana Kondisi Bumi dan Manusia Purba?


 Sekitar 74.000 tahun yang lalu, letusan Gunung Toba di Indonesia kemungkinan menyebabkan gangguan iklim yang parah di banyak wilayah di dunia. Bagaimana kondisi bumi dan manusia purba ketika itu? Sebuah penelitian baru dari Rutgers University-New Brunswick, Amerika Serikat, mencoba mengungkapkannya.

Seperti diketahui, letusan Gunung Toba adalah letusan gunung berapi terbesar dalam dua juta tahun terakhir. Letusan gunung berapi modern tidak ada artinya dibandingkan dengan letusan Toba yang menyebarkan abu sejauh 9.000 km hingga selatan Afrika. Total volume endapan yang meletus dapat melebihi 5.000 kilometer kubik.

Akan tetapi, dampak letusan tersebut terhadap iklim dan evolusi manusia belum jelas. Menyelesaikan perdebatan ini penting untuk memahami perubahan lingkungan selama interval kunci dalam evolusi manusia.

Penulis utama Benjamin Black, assistant professor di Department of Earth and Planetary Sciences, Rutgers University-New Brunswick, mengatakan, mereka menggunakan sejumlah besar simulasi model iklim untuk menyelesaikan apa yang tampak seperti paradoks tersebut. Hasil penelitian tersebut kemudian dipresentasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences.


"Kami tahu letusan ini terjadi dan pemodelan iklim masa lalu menunjukkan konsekuensi iklim bisa parah, tetapi catatan arkeologi dan paleoklimat dari Afrika tidak menunjukkan respons yang begitu dramatis," kata Black kepada Rutgers Today.

Black mengatakan, hasil mereka menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak mencari di tempat yang tepat untuk melihat respon iklim. Afrika dan India relatif terlindungi, sedangkan Amerika Utara, Eropa, dan Asia menanggung beban pendinginan. "Salah satu aspek yang menarik dari hal ini adalah bahwa Neanderthal dan Denisovan tinggal di Eropa dan Asia saat ini, jadi makalah kami menyarankan untuk mengevaluasi efek letusan Toba pada populasi tersebut dapat memerlukan penyelidikan di masa depan," Black menjelaskan.

Pada penelitian ini, para peneliti menganalisis 42 simulasi model iklim global. Para peneliti memvariasikan besarnya emisi belerang, waktu tahun letusan, keadaan iklim latar belakang, dan ketinggian injeksi belerang untuk membuat penilaian probabilistik dari berbagai gangguan iklim yang mungkin disebabkan oleh letusan Toba. Pendekatan ini memungkinkan tim menjelaskan beberapa hal yang tidak diketahui terkait dengan letusan.

"Dengan menggunakan pendekatan probabilistik, kami bertujuan untuk memahami kemungkinan bahwa beberapa daerah tidak terlalu terpengaruh oleh Toba, mengingat berbagai perkiraan ukuran dan waktunya, selain kurangnya pengetahuan kami tentang keadaan iklim yang mendasarinya," kata Black.


Hasilnya menunjukan kemungkinan ada variasi regional yang signifikan dalam dampak iklim. Simulasi memprediksi pendinginan belahan bumi utara setidaknya sekitar 4 derajat celcius dengan pendingingan regional setinggi 10 derajat celcius tergantung pada parameter model.

Sebaliknya, bahkan di bawah kondisi letusan yang paling parah, pendinginan di belahan bumi selatan -termasuk wilayah yang dihuni oleh manusia purba- tidak mungkin melebihi 4 derajat celcius. Meskipun wilayah di Afrika selatan dan India mungkin telah mengalami penurunan curah hujan pada suhu tertinggi dengan tingkat emisi belerang yang tinggi.

Hasilnya menjelaskan bukti arkeologi independen yang menunjukkan letusan Toba memiliki efek sederhana pada perkembangan spesies hominid di Afrika. Letusan Gunung Toba memang menyebabkan gangguan iklim yang parah di banyak wilayah di dunia, tetapi populasi manusia purba terlindung dari efek terburuk. Menurut penulis, pendekatan simulasi ensemble mereka dapat digunakan untuk lebih memahami letusan eksplosif masa lalu dan masa depan lainnya.

Menurut peneliti, hasil analisis mereka tersebut menyesuaikan distribusi simulasi dampak iklim dari letusan dengan catatan paleoklimatologi atau ilmu mengenai perubahan iklim dan arkeologi. "Pandangan probabilistik gangguan iklim dari letusan super terbaru di bumi ini menggarisbawahi distribusi dampak sosial dan lingkungan yang diharapkan tidak merata dari letusan eksplosif yang sangat besar di masa depan," kata Black.